BAB
I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk paling sempurna
dimuka bumi ini karena manusia diberi akal, pikiran dan perasaan. Manusia tidak
mempunyai pengetahuan ketika baru lahir. Interaksinya dengan alam sekitar
membuatnya ingin tahu sehingga mengajukan pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana?
Jawaban dari pertanyaan tersebut menghasilkan pengetahuan. Tetapi kadang
manusia mengalami banyak ketidakpuasan dengan pengetahuan yang ia terima.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenaknya semakin kompleks sehingga manusia
terus berfikir mencari pengetahuan. Pengetahuan yang ditemukan menjadi tonggak
awal pengetahuan spiritual
Sedangkan di Yunani, Plato (428-348 S.M) berfikir dan
menyebarkan pemikirannya di sebuah Akademia (lembaga pendidikan). Salah satu
pendapat Plato yang sangat popular adalah konsep tentang kebenaran “idea”
yaitu kebenaran yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah dan kekal. Kebenaran
idea adalah kebenaran diluar wilayah pengamatan inderawi. Pendapat tersebut
mendapat kritikan dari muridnya Aristoteles (382-322 S.M). Ia tidak mengetahui
adanya dunia “idea” yang berada di luar benda-benda yang konkret.
Menurutnya, pengetahuan manusia diperoleh lewat proses panjang melalui
pengamatan empirik pada benda-benda konkret yang diabstrakkan ke dalam “idea”.
Plato dan Aristoteles lebih dikenal dengan para filosof (bukan nabi) dan
sebelumnya telah ada filosof Yunani, antara lain: Thales (640-546 S.M),
Phytagoras (572-497 S.M), Socrates (470- 399 S.M).
Proses pencarian kebenaran yang dilakukan oleh beberapa
tokoh di atas telah mengahasilkan kebenaran agama (wahyu) dan kebenaran
filsafat (akal). Dalam perkembangannya kedua pengetahuan tersebut saling
bersitegang sebagai kebenaran yang paling esensi, paling tinggi. Perbedaan
tersebut disebabkan karena sumber dari kedua pengetahuan itu yang berbeda.
Dominasi antara agama dan filsafat silih berganti. Apalagi ketika filsafat
telah menghasilkan ilmu pengetahuan. Agama berada dibawah bayang-bayang
kebenaran filsafat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang yang saya analisa perlu kiranya merumuskan masalah sebagai
landasan pijakan
untuk terfokusnya kajian tentang Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan serta Cara
Mendapatkannya, adapun perumusan masalah yang dapat diambil dari garis besarnya
yaitu:
1.
Bagaimana pengertian pengetahuan dan ilmu pengetahuan?
2. Dari mana sumber pengetahuan
dan ilmu
pengetahuan?
3. Apakah
perbedaan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan?
4.
Bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
PENGETAHUAN
DAN ILMU PENGETAHUAN
Secara etimologi, ilmu
pengetahuan terdiri dari dua kata, yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu dalam bahas
Arab, berasal dari kata Alama artinya mengecap atau memberi tanda.
Sedangkan ilmu berarti pengetahuan. Sedangkan dalam bahasa Inggris ilmu
berarti science, yang berasal dari bahasa latin scientia, yang
merupakan turunan dari kata scire, dan mempunyai arti mengetahui (to
know), yang juga berarti belajar (to learn). Dalam Webster’s
Dictionary disebutkan bahwa;
(1) Pengetahuan yang membedakan dari
ketidak tahuan atau kesalahpahaman; penetahuan yang diperoleh melalui belajar
atau praktek.
(2) Suatu bagian dari pengetahuan
yang disusun secara sistematis sebagai salah satu objek studi (ilmu
teologi).
(3) Pengetahuan yang mencakup kebenaran
umum atau hukum-hukum operasinal yang diperoleh dan diuji melalui metode
ilmiah; pengetahuan yang memperhatikan dunia pisik dan gejala-gejalanya (ilmu
pengetahuan alami).
(4) Suatu sistem atau metode atau
pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
Sedangkan pengetahuan merupakan arti
dari kata knowledge yang mempunyai arti;
(1) Kenyataan atau keadaan mengetahui
sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau kebenaran secara
umum.
(2) Kenyataan atau kondisi manusia yang
menyadari sesuatu.
(3) Kenyataan atau kondisi memiliki
informasi yang sedang dipelajari.
(4) Sejumlah pengetahuan; susunan
kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip yang diperoleh manusia.
Konklusi dari pernyataan tersebut
diatas, Ilmu diinterpretasikan sebagai salah satu dari pengetahuan
yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis. Sedangkan pengetahuan
diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari. Dengan demikian ilmu
lebih sempit dari pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian dari pengetahuan.
Pengertian tersebut tidak jauh
berbeda dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli -terminologi-.
Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer sebagai proses membuat pengetahuan.
Definisi yang hampir sama dikemukakan John Warfield yang
mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas penyelidikan. Sedangkan
pengetahuan menurut Zidi Gazalba merupakan hasil pekerjaan dari tahu yang
merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan
menurutnya adalah milik atau isi fikiran. Sedangkan pengertian ilmu
pengetahuan sebagai terjemahan dari science, seperti dikatakan oleh
Endang Saefuddin Anshori ialah;
Usaha pemahaman manusia yang disusun
dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan
hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh
yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan itu, yang
kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksprimental.
Dari definisi tersebut diperoleh
ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas (keumuman), rasionalitas,
objektivitas, verifibialitas dan komunitas. Sistematis, ilmu
pengetahuan disusun seperti sistem yang memiliki fakta-fakta penting yang
saling berkaitan. Generalitas, kualitas ilmu pengetahuan untuk merangkum
fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep yang makin umum
dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas, bersumber pada pemikiran
rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas, dapat
diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap anggota
lainnya dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima secara umum,
setelah diuji kebenarannya oleh ilmuwan.
Sedangkan yang menjadi objek ilmu
pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek materi (material objek) dan
objek fomal (formal objek). Objek materi adalah sasaran yang berupa
materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian. Didalamnya
terkandung benda-benda materi ataupun non-materi. Bisa juga berupa hal-hal,
masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.
Objek formal yang berarti sudut
pandang menurut segi mana suatu objek diselidiki. Objek formal menunjukkan
pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi objek dalam ilmu pengetahuan. Sebagai
contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam diri manusia terdapat
beberapa aspek, seperti: kejiwaan, keragaan, keindividuaan dan juga kesosialan.
Aspek inilah yang menjadi objek forma ilmu pengetahuan. Manusia dengan objek
formalnya akan menghasilkan beberapa macam ilmu pengetahuan, misalnya biologi,
fisikologi, sosiologi, antropologi dll.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan
adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode ilmiah yang
disusun secara sistematik sebagai sebuah kebenaran.
2.
SUMBER PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Sumber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagaia asal. Sebagai contoh sumber mata air, berarti asal dari air yang
berada di mata air itu. Dengan demikian sumber ilmu pengetahuan adalah asal
dari ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia. Jika membicarakan masalah asal,
maka pengetahuan dan ilmu pengetahuan tidak dibedakan, karena dalam sumber
pengetahuan juga terdapat sumber ilmu pengetahuan.
Sumber pengetahuan terdiri dari empirisme (indera), rasionalisme
(akal), intuisionisme (intuisi), ilmunasionalisme (hati), dan
wahyu.
1.
Empirisme (indera)
Gejala alam, menurut aliran ini bersifat konkret, dapat
dinyatakan dengan panca indera dan mempunyai karakteristik dengan pola
keteraturan mengenai suatu kejadian. Seperti langit yang mendung yang biasanya
diikuti oleh hujan, logam yang dipanaskan akan memanjang. Berdasarkan teori ini
akal hanya berfungsi sebagai pengelola konsep gagasan inderawi dengan menyusun
konsep tersebut atau membagi-baginya. Akal juga sebagai tempat penampungan yang
secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk
memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut.
Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman inderawi
sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu yang tidak diamati dengan indera bukanlah
pengetahuan yang benar. Walaupun demikian, ternyata indera mempunyai beberapa
kelemahan, antara lain;
a. Keterbatasan
indera.
Seperti kasus semakin jauh objek
semakin kecil ia penampakannya. Kasus tersebut tidak menunjukkan bahwa objek
tersebut mengecil, atau kecil.
b. Indera menipu.
Penipuan indera terdapat pada
orang yang sakit. Misalnya. Penderita malaria merasakan gula yang manis, terasa
pahit dan udara yang panas dirasakan dingin.
c. Objek
yang menipu
Seperti pada ilusi dan
fatamorgana.
d. Objek dan
indera yang menipu.
Penglihatan kita kepada kerbau,
atau gajah. Jika kita memandang keduanya dari depan, yang kita lihat adalah
kepalanya, sedangkan ekornya tidak kelihatan. dan kedua binatang itu
sendiri tidak bisa menunjukkan seluruh tubuhnya. Kelemahan-kelemahan pengalaman
indera sebagai sumber pengetahuan, maka lahirlah sumber kedua, yaitu
Rasionalisme.
2.
Rasionalisme (akal)
Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya
hingga menjadi pengetahuan yang benar. Dalam penyusunan ini akal menggunakan
konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam
alam nyata dan bersifat universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda
konkret. Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan yang dikirim indera,
akal juga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu
pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang hukum/ aturan
yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk. Hukum ini ada dan logis tetapi tidak
empiris.
Meski rasionalisme mengkritik emprisme dengan pengalaman
inderanya, rasionalisme dengan akalnya pun tak lepas dari kritik.
Kelemahan yang terdapat pada akal. Akal tidak dapat mengetahui secara
menyeluruh (universal) objek yang dihadapinya. Pengetahuan akal adalah
pengetahuan parsial, sebab akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia
memikirkannya dan akal hanya memahami bagian-bagian tertentu dari objek
tersebut.
Kelemahan yang dimiliki oleh empirisme dan rasionalisme disempurnakan sehingga
melahirkan teori positivisme yang dipelopori oleh August Comte (1798-1857) dan
Iammanuel Kant (1724-1804), Ia telah melahirkan metode ilmiah yang menjadi
dasar kegiatan ilmiah dan telah menyumbangkan jasanya kepada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Menurut pahan ini indera sangat penting untuk
memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi indera harus dipertajam dengan eksperimen
yang menggunakan ukuran pasti. Misalnya panas diukur dengan derajat panas,
berat diukur dengan timbangan dan jauh dengan meteran.
3.
Intusionisme (intuisi)
Kritik paling tajam terhadap empirisme dan rasionalisme di lontarkan oleh
Hendry Bergson (1859-1941). Menurutnya bukan hanya indera yang terbatas,
akalpun mempunyai keterbatasan juga. Objek yang ditangkap oleh indera dan akal
hanya dapat memahami suatu objek bila mengonsentrasikan akalnya pada objek
tersebut. Dengan memahami keterbatasan indera, akal serta objeknya, Bergson
mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang dinamakannya intuisi.
Kemampuan inilah yang dapat memahami suatu objek secara utuh, tetap dan
menyeluruh. Untuk memperoleh intuisi yang tinggi, manusia pun harus berusaha
melalui pemikiran dan perenungan yang konsisten terhadap suatu objek.
Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa pengetahuan intuisi bersifat mutlak dan
bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan
simbolis. Intuisi dan analisa bisa bekerja sama dan saling membantu dalam
menemukan kebenaran. Namun intuisi sendiri tidak dapat digunakan sebagai dasar
untuk menyusun pengetahuan.
Salah satu contohnya adalah pembahasan tentang keadilan. Apa adil itu?
Pengertian adil akan berbeda tergantung akal manusia yang memahami. Adil bisa
muncul dari si terhukum, keluarga terhukum, hakim dan dari jaksa. Adil
mempunyai banyak definisi. Disinilah intuisi berperan. Menurut aliran ini
intuisilah yang dapat mengetahui kebenaran secara utuh dan tetap.
4.
Illuminasionisme (hati)
Paham ini mirip dengan intuisi tetapi mempunyai perbedaan dalam metodologinya.
Intuisi diperoleh melalui perenungan dan pemikiran yang mendalam, tetapi dalam illuminasi
diperoleh melalui hati. Secara lebih umum illiminasi banyak berkembang
dikalangan agamawan dan dalam Islam dikenal dengan teori kasyf yaitu
teori yang mengatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih mampu menerima
pengetahuan dari Tuhan. Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung ini,
diperoleh melalui latihan spiritual yang dikenal dengan suluk atau riyadhah.
Lebih khusus lagi, metode ini diajarkan dalam thariqat. Pengetahuan yang
diperoleh melalui illuminasi melampaui pengetahuan indera dan akal. Bahkan
sampai pada kemampuan melihat Tuhan, syurga, neraka dan alam ghaib lainnya.
Di dalam ajaran Tasawuf, diperoleh pemahaman bahwa unsur Ilahiyah
yang terdapat pada manusia ditutupi (hijab) oleh hal-hal material dan
hawa nafsunya. Jika kedua hal ini dapat dilepaskan, maka kemampuan Ilahiyah
itu akan berkembang sehingga mampu menangkap objek-objek ghaib.
5.
Wahyu (agama)
Wahyu sebagai sumber pengetahuan juga berkembang dikalangan agamawan. Wahyu
adalah pengetahuan agama disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara
para nabi yang memperoleh pegetahuan tanpa mengusahakannnya. Pengetahuan ini
terjadi karena kehendak Tuhan. Hanya para nabilah yang mendapat wahyu.
Wahyu Allah berisikan pengetahua yang baik mengenai kehidupan manusia itu sendiri,
alam semesta dan juga pengetahuan transendental, seperti latar belakang dan
tujuan penciptaan manusia, alam semesta dan kehidupan di akhitar nanti.
Pengetahuan wahyu lebih banyak menekankan pada kepercayaan yang merupakan sifat
dasar dari agama.
3.
PERBEDAAN ANTARA PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan (science)
mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau
dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak
menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin
mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu
pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu
ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu
pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas
hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan
diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan
terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif.
Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan)
yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi
dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu
pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan
dikemukakan serba sedikit tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
o Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat beberapa
definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a)
Ilmu
pengetahuan adalah penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
b)
Ilmu
pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan
tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat materi.
c)
Ilmu
pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan
tidak hanya hasil/metode eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan,
wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini tidak memberikan tali pengikat
yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil pengamatan
(Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d)
Ilmu
pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari
pengamatan empiris.
Definisi ini mempergunakan metode induksi yaitu membangun
prinsip-prinsip umum berdasarkan berbagai hasil pengamatan. Definisi ini
memberikan tempat adanya hipotesa, sebagai ramalan akan hasil pengamatan
yang akan datang. Definisi ini juga mengakui pentingnya pemikiran spekulatif
atau metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun
demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak
memberi tempat pada pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang
disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis
berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut
hanya merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap
belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf
pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari
hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori
yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli
lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini
berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap
kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah
dilakukan penelitian atau percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan
pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang
bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat
statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan
alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai
pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim
menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya
kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu
laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu
pengetahuan akan hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut
ditutup.
Ilmu pengetahuan
bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan
dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang
berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan
kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu,
ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan
adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah
berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk
percobaan lebih lanjut
(Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini adalah
pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan
dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan
(eksperimen).
Selanjutnya John
Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna manfaat,
mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga
penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil
dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu
pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan
sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang
bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita
analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di
atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga
menghasilkan penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan
seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak
menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang
hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam
semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu
pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu
akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi
pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan
baru atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika
dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan ilmu
pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya
untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang
menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu
pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A.,
1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau mengembangkan ilmu
pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka
pemantapan dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan
pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan perseptual dengan
ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal sehat yang
menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan eksperimental
(Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan merupakan
masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima sebagai
masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk teori
baru.
Sedangkan Ernest
Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu
pengetahuan (science).
o
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Dalam
common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan
tentang mengapa dan bagaimana. Common sense tidak
melakukan pengujian kritis hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu
dengan fakta lain. Sedang dalam science di samping diperlukan uraian
yang sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga
dapat dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan
prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2)
Ilmu
pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan
prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum tentang suatu hal. Artinya
dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam penelitian-penelitian
terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang telah ada
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak
memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta yang
terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data bersifat subjektif, karena common sense
sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3)
Dalam
menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai
pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan
mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas
aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari proposisi yang satu
dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4)
Kebenaran
yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang kebenaran dalam
ilmu pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu
pengetahuan selalu dihadapkan pada pengujian melalui observasi maupun
eksperimen dan sewaktu-waktu dapat diperbaharui atau diganti.
5)
Perbedaan
selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk memberikan
penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya
mengandung pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan
konsep-konsep yang tajam yang harus dapat diverifikasi secara empirik.
6)
Perbedaan
yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah.
Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah
metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial
dan budaya juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen,
generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan
pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan
tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual
atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian
secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama,
dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang
bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian
secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan
tidak objektif serta tidak universal.
4.
CARA MENDAPATKANNYA
Lima sumber pengetahuan yang telah
kami sebutkan diatas, menitikberatkan pada akal dalam rangka
memperoleh atau mendapatkan pengetahuan. Empiris menggunakan akal
untuk membentuk ide/konsep dari objek. Apalagi dalam aliran rasionalisme yang
menekankan pada akal. Intuisi, illuminasi dan wahyu pun diperoleh dari akal
yang berfikir.
Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam
Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas
Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat,
yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan
teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai
intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang
lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu
mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima
oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut
telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan
Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka
landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa
penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan
penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif
(Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus
sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi
terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan
juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan
bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara
mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya
dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi peranan metode
ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan
tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi corak
pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut di
atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah
melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada
dasarnya merupakan bagian yang penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu
pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian
hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang
dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah
merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode
ilmiah penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu
dan tempat yang berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode
induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus dalam rangka
penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial,
baik metode induktif maupun deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta
empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu
sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi
jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau
kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena
fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta tersebut
harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang
berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas
merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu
sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya
sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti
dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah
dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya
dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu
membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau
menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral,
yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari
nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data
yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan
kebenaran universal (Suparlan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang
berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk
diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar
dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara
objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan
ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah, pendekatan, dan prosedur
penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).
b)
Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah
untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu:
(1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1)
Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif
adalah filsafat positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh Emile Durkheim
(1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa tindakan-tindakan
manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial.
Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan
memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam.
Caranya dengan melakukan observasi atau
mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya,
menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian
kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi.
Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan
ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung
(Suparlan P., 1997).
2)
Pendekatan Kualitatif
Landasan
berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang
menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial,
tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan
perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam
sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren
atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial,
maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan
harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala
sosial yang diamatinya (Suparlan P., 1997).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
:
Berdasarkan
uraian dari pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode
ilmiah dengan mengikuti prinsip-prinsip ilmiah dan disusun secara sistematis
sebagai sebuah kebenaran.
2. Sumber
ilmu pengetahuan terdiri dari empirisme, rasonalisme, intuisionisme,
illuminasionisme dan wahyu.
3. Perbedaan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan ilmu
o Ilmu Pengetahuan adalah kerangka konseptual atau teori
uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian secara
kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan
demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
o Pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat
tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian secara
kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak
objektif serta tidak universal.
4. Ilmu pengetahuan yang memenuhi
syarat diperoleh melalui metode ilmiah dengan pendekatan kuntitatif dan
pendekatan kulitatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Jasin, Maskoeri. 2008. Ilmu Alamiah Dasar
Edisi Revisi 16. Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar